Senin, 27 Maret 2017

Menabur Arang di Jalan Tanpa Nama (1)





Jalan di pinggir Masjid Istiqamah, Bandung, 2003 silam, akan menjadi saksi sekelompok pelajar SMA melakukan demonstrasi pertamanya. Puluhan pelajar saat itu turun ke jalan dalam sebuah barisan yang hanya ditandai oleh tali rapia.

Barisan terdepan pawai diisi oleh pelajar yang membentangkan spanduk berisi tuntutan “biaya sekolah harus pro rakyat miskin”. Kemudian yel-yel terdengar dari pelantang suara salah satu orator, meneriakan perihal sistem sekolah yang kapitalistik. Orator berada di depan sendirian, di luar barisan. Seolah memimpin sebuah stampede binatang-binatang yang sedang terbakar hasrat. Ketika yel-yel orator keluar dari pelantang suara, bergema sahutan dari anggota pawai. Mereka teriak, menyahut orator dengan tangan kiri terkepal.

Derap pawai puluhan pelajar yang tergabung dalam Front Pembebasan Pelajar itu kemudian berhenti di depan SMA 20. Sekolah yang terletak di seberang Masjid Istaqamah. Sekolah itu sepi ketika puluhan peserta pawai berdiam di depan gerbang. Mungkin para pelajarnya tidak diizinkan keluar oleh otoritas sekolah.

Namun orator tidak berhenti berorasi. Sang orator bahkan mengajak pelajar SMA 20 untuk keluar sekolah dan bergabung dengan barikade. Tidak ada pelajar SMA 20 yang menyambut ajakan sang orator itu. Sekian menit berteriak melalui pelantang suara, gerbang sekolah masih tertutup rapat. Masih tidak ada tanda-tanda keramaian di halaman sekolah. dari balik gerbang.

Sang orator meyakinkan dirinya bahwa sebuah tugas setidaknya telah terpenuhi. Ajakan telah dilakukan, meskipun tidak seperti undangan resmi yang penuh sopan santun, seperti berkirim surat atau pendekatan personal. Ajakan yang disampaikan melalui pelantang suara dengan volume yang memekikkan setidaknya bisa membuat pesan terdengar jelas, meskipun tidak ada pelajar pun di sekolah itu yang menyambutnya.
Udara akan mengantarkan getaran bunyi pelantang suara ke daun telinga mereka-mereka yang ada di dalam gedung sekolah. Udara tidak akan terhalang oleh gerbang sekolah maupun tembok-tembok kelas untuk mengantarkan pesan turun ke jalan.

Setelah berdiskusi singkat, sang orator kemudian memutuskan unjuk rasa kembali dilanjutkan. Kali ini dengan tujuan SMA 1 yang terletak di kawasan Dago. Jaraknya cukup jauh bila harus berjalan kaki. Tapi, barisan nyatanya tetap melaju. Toh, di perjalanan nanti, setidaknya ada satu pesan yang akan tersampaikan ke orang-orang yang melihat pawai itu. Pesan tentang sesuatu mengenai eksistensi. Tentang sebuah pengakuan bagi mata-mata anonim di pinggir jalan tentang sekelompok remaja yang tengah bergelora.

Di antara pepohonan, jalan raya, pengkolan yang terlewati oleh barisan, tidak ada satupun dari remaja tanggung yang sedang berunjuk rasa pertama kalinya itu bisa menebak akhir dari gelora semangat tersebut akan bermuara dimana. Mungkin juga tidak ada yang terpikirkan bila waktu yang berputar dan abu-abunya kehidupan bisa membentuk pribadi yang tidak pernah disangka-sangka sebelumnya.

Tahun 2003. Sudah terlalu banyak yang terjadi semenjak itu.

Tulisan selanjutnya klik di sini.

Tidak ada komentar: