Senin, 27 Maret 2017

Menabur Arang di Jalan Tanpa Nama (2)





Tulisan sebelumnya lihat di sini 
.
Tahun 1998 adalah tahun-tahun yang terasa campur aduk. Di satu sisi ada semangat dan optimisme ketika penguasa otoriter Soeharto menyatakan pengunduran dirinya setelah mengalami tekanan demonstrasi yang luar biasa. Elit-elit politik oposisi Soeharto ditayangkan sebuah stasiun televisi tengah berjingkrak-jingkrak dan saling memeluk ketika Soeharto membacakan surat pernyataan pengunduran diri. Ratusan mahasiswa yang menduduki gedung parlemen ditayangkan di semua saluran televisi.

Di sisi lain, ada penjarahan, pembunuhan, pemerkosaan, konflik rasialis, dalam peristiwa itu. Kisah korban-korbannya akan menjadi wajah muram dari runtuhnya rezim oligarki yang militeristik tersebut.

Akan terlalu banyak yang harus diungkapkan bila mengingat reformasi dari setiap seginya. Namun bagi sebagian kecil orang - terutama sekelompok pelajar yang pertama kalinya berdemonstrasi pada tahun 2003 di Bandung itu - reformasi seperti membuka cakrawala lain mengenai perlawanan dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa menggelinding semakin besar karenanya.

Bagi sekelompok remaja yang baru meraba-raba dunia, reformasi menyuguhkan pompaan adrenalin: turun ke jalan, bentrok dengan aparat, menduduki lembaga pemerintahan. Gambaran itu begitu menggairahkan para pelajar yang siap untuk menyerap apa saja yang ditawarkan oleh dunia yang tengah bergejolak.

Tahun-tahun dimana hawa reformasi masih terasa, para pelajar itu seolah-olah menghadapi sebuah limpahan informasi-informasi alternatif mengenai pemberontakan. Informasi-informasi yang sebelumnya tidak pernah teraba. Pertama-tama limpahan informasi itu dirasa aneh dan menyimpang. Tapi ketertarikan, antusiasme atas semangat perlawanan dan penyimpangan itu mengalahkan antipati yang seharusnya muncul dari persepsi keanehan dan penyimpangan. Hanya ada sensasi takjub ketika pertama kali membaca Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, dan pamflet-pamflet yang beredar dari tangan ke tangan berisi kabar mengorganisir perlawanan.

Ide-ide perlawanan saat itu memang tersebar di berbagai ruang, media dan akhirnya berimbas kepada gaya hidup. Seorang pelajar di antaranya  menyenangi musik punk rock. Di sana ada beberapa band punk lokal yang berteriak "lawan otoritas!" dalam lagu-lagunya. Ada juga di antara pelajar itu yang berkenalan dengan fanzine, sebuah medium komunikasi yang tercetak melalui kertas berukuran kuarto.  Fanzine-fanzine itu biasanya disimpan di distro-distro dalam bentuk fotokopian. Saat itu yang namanya distro masih kental dengan semangat punk, tidak sekadar toko fashion seperti yang sekarang dipahami banyak orang.

Penulis fanzine menceritakan banyak hal seputar perlawanan di dalam setiap edisinya yang terbit tidak berkala alias sewenang-wenang itu. Cerita biasanya tentang menantang otoritas dengan turun ke jalan atau mengorganisir kelompok perlawanan. Keseluruhan fanzine telah menjadi medium penyebar ide perlawanan terhadap tatanan dominan di benak para pemuda itu. Didalamnya terdapat nilai-nilai alternatif yang mengenalkan cara menjalani kehidupan di luar arus utama: etos straight edge, anarkisme, anarkosindikalis, marxisme, DIY, anti-homophobic, feminisme, squating, agnostik.

Tidak kalah pentingnya adalah ketika penulis fanzine memberikan pengenalan-pengenalan terhadap tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok perlawanan: Guy Debord, Komune Paris 1871, CrimethInc, Karl Marx, Michel Foucoult, Zapatista, Subcomandante Marcos, Bakunin, Nietzche, Antonio Gramsci, Ema Goldman, Wiji Thukul.

Kemudian ada juga resensi-resensi kelompok musik yang tidak sekadar bermusik. Namun juga melakukan perlawanan, baik dalam komposisi musiknya, maupun dalam kesehariannya. Band-band luar biasa seperti Refused, Seein' Red, Chumbawamba, Propagandhi, Zack de la Rocha, menjadi perbendaharaan baru di cakrawala si pelajar.

Apa yang sebelumnya asing dan aneh sehingga menjadi tabu, saat itu tengah dilucuti hingga telanjang.

Tahun-tahun penuh sensasi dan suka cita telah menabur benih-benih aktivisme dalam diri si pelajar. Setelah mengalami momen-momen pergulatan dan perenungan, keputusan bergabung dengan Front Pembebasan Pelajar telah menjadi semaian awalnya dan terus bergulir sampai turun ke jalan. Mengambil momentum Hari Pendidikan Nasional, si pelajar memutuskan bergabung bersama-sama anggota organisasi melakukan aksi unjuk rasa di jalanan. Mereka mendatangi sekolah-sekolah dengan harapan mengajak para pelajar di sana untuk bersama-sama turun ke jalan.

Gambaran unjuk rasa di Jakarta saat meletusnya reformasi, mahasiswa sejumlah daerah yang menduduki gedung parlemen, aktivisme Refused, Chumbawamba, buku Sekolah Itu Candu karya Roem Tupatimasarang, berkelebat cepat. Bagi salah seorang pelajar, gambaran-gambaran itu membentuk persepsi rancak tentang sebuah perlawanan.

"Inilah momentumnya," pikir pelajar itu, "sebuah praxis. Tindakan perlawanan nyata terhadap tatanan dominan. Turun ke jalan untuk demonstrasi."

Di hari-hari ke depan, sang pelajar tidak hanya merasakan medan unjuk rasa di dunianya saja, yakni dunia pendidikan. Tapi juga merasakan medan lain yang lebih panas; unjuk rasa para buruh di depan Gedung Sate Bandung. Saat itu, sang pelajar melihat asap hitam membumbung tinggi dari tumpukan ban yang terbakar. Suasana demonstrasi saat itu sangat jauh berbeda dengan unjuk rasa pelajar yang lebih "tentram".

Dada sang pelajar kala itu berdegup seiring asap hitam  tebal tidak henti-hentinya membumbung ke langit. Mengelilingi ban yang terbakar, para buruh kala itu tidak beranjak jua dari Gedung  Sate. Para buruh yang datang berdemonstrasi di Gedung Sate saat itu jumlahnya berkali-kali lipat banyaknya dibandingkan pelajar yang turun ke jalan berunjuk rasa. Sang pelajar hanya melihat dari seberang Gedung Sate, tidak jauh dari tangga utama menuju Gasibu. Terpana melihat pemandangan yang tumpah ruah di hadapannya: orator dengan pelantang suaranya, sound system di bak mobil yang membuat volume pelantang suara sangat keras, ratusan massa aksi, dan tumpukan ban yang dijilati api. 

Sang pelajar memetik kesan dari pengalamannya itu. Kesan yang kelak akan terpatri dalam kehidupannya di tahun-tahun ke depan: bahwa hidup tidaklah begitu tenang dan damai. Ada gejolak di dalam kehidupan yang membuat sebagian orang-orang melakukan pemberontakan. Ada yang tidak beres di dalam kehidupan ini. Dan di tengah-tengah kecamuk kehidupan, sebuah perlawanan terkadang tidak bisa dielakkan.

Tulisan selanjutnya lihat di sini.

Tidak ada komentar: